Angkringan mbah Minggiran Jogja

“Nah, cucu-cucumu datang mbah”  kata bapak-bapak yang lagi sarapan nasi kucing.

“lagi wae diomongke wes moro, panjang umur iki” (baru saja diomongkan sudah datang, wah panjang umur). Mbah menimpali.

“iyalah panjang umur. Kan masih muda”. Aih si Bapak-bapak memakai logikanya sendiri. Berpikir kalau urusan kematian adalah urusan orang-orang yang telah memasuki usia udzur. Aku bergumam dan sibuk protes dalam hati.

Kurang lebih seperti itulah obrolan yang terjadi antara mbah dengan pembeli yang kebanyakan para bapak-bapak paroh baya saat aku dan temenku datang. Okelah saya pengen bercerita tentang warung angkringan di daerah minggiran dengan segala macam tetek bengeknya dari penjual, letak warung, aktivitas, dagangan sampai para penggemarnya. Semuanya unik dan membuatku pengen menjerit-jerit kegirangan. WAWW banget dah. Sekalian mempromosikan angkringan yang hebatt sedunia akhirat. Suerr. wer tekewer.

Kebanyakan temen2 q6 belom tahu angkringan minggiran kecuali anak kamar bawah yang memang gemar bertandang kesana. Setelah aku pindah ke kamar bawah, segala aktivitas, jadwal dan kehidupanku (urusan perut) mulai kusesuaikan dengan anak bawah. Tak terkecuali warung langganan, angkringan minggiran yang nantinya selalu kukunjungi saban pagi.

Kesan pertama terlalu mengesankan dan sulit dilupakan. Kesan pertama inilah yang selalu mendorongku untuk melangkahkan kaki ke minggiran. Benar. Angkringan ini berada di desa minggiran, deket lapangan tapi agak ke dalem. Tempatnya di pojok paling ujung dan jarang terlihat oleh orang-orang. Meskipun nggak terlihat banyak orang, jangan dikira kalau angkringan ini sepi pengunjung. Justru malah sebaliknya. Barangkali angkringan minggiran menjadi ramai karena cerita yang beredar dari mulut ke mulut. Berikut detail ceritanya.

Dimulai dari dagangan. Layaknya angkringan2 di Jogja, angkringan minggiran juga menjual nasi kucing, gorengan, es teh, sate usus, sate telor puyuh dkk. Bedanya, porsi nasi kucing bisa dua kali lipat lebih banyak dibanding nasi2 kucing di tempat lain. Nasinya memang nggak terlalu besar dalam penglihatan kasat mata. Tapi, saat bungkus kertas dan bungkus daun pisang telah terbuka, humm… aduh boi…. ente bisa klepek-klepek bak burung terbang yang tertembak peluru penembak kawakan. Entah gimana cara menatanya, nasi kucing angkringan minggiran kok bisa jadi kemruntel dan mbetetel begitu ya. Makan satu bungkus aja sudah kenyang karena mungkin nasi itu ditetel sebanyak-banyaknya dengan tenaga tua sekuat-kuatnya. Aku mulai membayangkan hal yang tidak-tidak terkait tenaga tua mbah angkringan. Dalam benak simbah, apapun akan dilakukan demi angkringan tercintanya. Termasuk menghabiskan sisa-sisa tenaga tuanya. wkwk. Belom lagi oseng-oseng tempe maupun sambalnya. Behh…. mantap surantapp. Oseng-oseng dan sambalnya juga sak alaihim. Angkringan lain mah isinya cuma oseng-oseng tempe tiga  biji atau bahkan sambal yang habis dalam satu kali colekan. Ups….soury.

Penjualnya ada dua orang yang sama-sama dalam usia tua. Tapi belum tua renta, santai aja. Beliau adalah simbah-simbah putri yang berpatner kerja dan berjuang bersama dalam menghadapi angkringan-angkringan yang sudah mulai canggih dan modern. Beliau berdua berusaha maksimal supaya angkringan tua mereka tetap bisa bertahan dan eksis dalam kancah global. Nah kan!!! Keren bingitt… Bagaimana patner tersebut nggak ketar-ketir kalau saat ini banyak berdiri angkringan-angkringan yang dipasangi wifi plus tempat colokan. Terlebih tempatnya juga kinclong, bersih dan wangi. Dijamin. Angkringan2 model begini merupakan saingan berat angkringan Minggiran. Aku mulai mengarang cerita dan membayangkan perkara yang belum tentu sesuai dengan fakta lapangan. Boleh jadi mbah Angkringan Minggiran nggak tahu-menahu soal angkringan canggih berpaket wifian gratis. Jangankan wifi, bagi mbah Angkringan, nominal uang aja masih buram dan samar-samar. jangan berpikir yang tidak-tidak Eli.

 

Dua simbah penjualnya berbeda usia. Simbah yang satu lebih tua dari simbah yang satunya. Sayang, aku nggak tahu namanya jadi nggak bisa memperkenalkan dengan baik nih. Ya udah….. di sini kita memanggilnya simbah tua untuk simbah yang lebih tua. Dan kita panggil simbah muda untuk simbah yang lebih muda. Okelah. Mereka berdua tidak selalu bersama dalam menjaga angkringan andalannya. Aku pernah menjumpai simbah muda, namun seringnya bertemu dengan simbah tua. Barangkali ada dua sift, sift satu dan sift dua, gantian jaga. Kalau stan by disana terus kan capek ya mbah??

 

Dalam suatu kunjunganku ke angkringan minggiran. Aku memasukkan beberapa nasi dan beberapa gorengan ke dalam plastik hitam. Selesailah kita belanja. Aku menyodorkan uang 20.000. Total semua makanan 12.000. Eh….simbah tua memberi kembalian dengan jumlah yang tidak semestinya, 14.000. Agak terkejut sebentar memang. Meskipun kaget, aku berusaha untuk tetap stay cool dan menyembunyikan keterkejutanku. Usut punya usut, ternyata simbah tua tidak bisa menghitung. Dalam kunjungan-kunjungan berikutnya, aku mulai mentotal semua yang kubeli dan membayar dengan uang pas. Itung-itung tidak membingungkan mbah tua. Setelah beres melakukan transaksi, simbah tua hanya bilang “ya ngono, diitung dewe, kowe seng pinter kok”. hehe

 

Perlu dicatat dengan huruf kapital plus dibold sekalian bahwa kunci laris angkringan minggiran adalah KEDERMAWANAN dan KEKELUARGAAN. Mbah Minggiran nggak pernah itung-itungan alias pelitt. “Oi, cemplungin aja semua”. Mbah Minggiran meneriaki kami untuk enjoy aja saat memasukkan gorengan ke dalam plastik. Kalau kebetulan gorengannya gantet atau saling menempel, mbah Minggiran bilang “ambil aja semua”. Kami hanya manggut-manggut. Kalau si mbah nggak sibuk menggoreng, beliau sendiri yang membungkuskan makanan-makanan yang kami beli. Tak jarang beliau sengaja melebihkan makanan kami. Istilah kerennya, gratisan, bonus atau semacamnya.

 

Tiap kali kami ke sana, kami merasa @home. Nyaman-nyaman saja meskipun pembeli perempuan hanyalah kami-kami. Pembeli lain sering bertanya banyak hal perihal identitas kami. Sering juga hanya basa-basi, bertanya tentang pondok kami. Kami juga merasa bahwa kami sudah dianggap seperti cucu sendiri. Seharian saja tak ke sana, esok harinya mbah akan berkomentar kok baru datang. Aku belajar banyak dari sana. Uang bukanlah segalanya. Kunci sukses sebuah usaha tidak hanya ditentukan oleh keuntungan yang banyak. Melainkan juga sikap dan perlakuan penjual kepada pembeli.

 

Barangkali, bagi mbah, pembeli bukan sekedar raja, tapi keluarga. Memang sih, raja mendapat perlakuan yang istimewa lagi wah dari setiap orang. Namun kita nggak tahu apakah perlakuan istimewa tersebut benar-benar tulus  atau karena takut. Nah, perlakuan terhadap keluarga selalu istimewa. Istimewa tapi nggak wah banget. Sesuai kemampuan dan ala kadarnya. Tapi jangan bilang kalau istimewa yang ala kadar yang disertai ketulusan lebih rendah nilainya dari istimewa yang wah tapi tak disertai ketulusan. Hallah. ngomong opo..

3 Comments Add yours

  1. mysukmana berkata:

    Tp skg bnyk angkringan bnyk yg mahal kalau yg modern y

    Suka

    1. nggedabrusrek berkata:

      Iya. Mungkin berkaitan dengan naiknya semua kebutuhan pokok dan tempat. *Ngemut ceker*

      Suka

      1. mysukmana berkata:

        wah ceker der itu enak banget kak

        Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar