Kenangan Pertama Mondok

Tahun 2004 aku diterima sebagai murid MTS Hasyim Asy’ari. Setelah mengambil surat pengumuman kelulusan dari sekolah, aku dan beberapa teman dengan ditemani orang tua masing-masing diantar untuk mendaftar belajar di pondok pesantren, Darut Ta’lim. Kami serombongan ditemui oleh sepasang orang tua paroh baya yang di kemudian hari kami memanggilnya Bapak dan Ibuk. Orang tua kami matur mengenai maksud kedatangan kami bertujuan untuk menitipkan anaknya kepada pengasuh. Bapak yang menemui kami bilang supaya kami mulai tinggal di pondok hari Rabu. Hari baik katanya. Selang beberapa menit kemudian, kami dipersilakan pengasuh untuk berkeliling, melihat kondisi pondok pesantren yang nanti bakal kami tinggali selama beberapa tahun.

Sesampai di rumah, aku bercerita kepada Mamak tentang sepasang Bapak-Ibu yang tadi menemui kami di Pesantren. Tak luput pula cerita tentang rumah di samping pesantren yang mempunyai TV. Nanti kalau sudah mondok, aku akan menonton TV di rumah tetangga tersebut. Demikian yang aku bicarakan dengan Mamak. Mengingat TV masih menjadi barang langka di desaku, aku tentu senang sekali kalau bisa nonton TV di pesantren. Terlebih, tetangga tersebut rumahnya terletak di samping pesantren persis. Tak ada jarak.

Di hari Rabu yang telah kami (Aku dan orang tuaku, Sopi dan orang tuanya, Nely dan orang tuanya, mb Ida dan orang tuanya serta Rina dan orang tuanya) sepakati bersama, kami berangkat ke pesantren bareng-bareng. Kami menaiki angkutan desa yang menuju pasar Bangsri. Kebetulan kami juga akan belajar di Bangsri. Sama seperti tetangga2 kami yang kula’an dagangan di Bangsri. Pasar Bangsri terbilang lengkap dalam hal penyediaan barang-barang pokok. Barangkali keilmuan daerah Bangsri juga lengkap seperti pasarnya.

Saat keluar dari angkutan, keempat temenku menangis. jelas lah menangis, kan berpisah dengan orang tua untuk pertama kalinya. Pasti berat. Namun aku tidak menangis saat diantar Bapak, aku malah senang dipondokin. Tapi, selang beberapa hari, justru aku yang nangis siang-malam, meratapi kejauhanku dengan orang tua. Rasanya dunia ini akan berakhir kalau aku tidak berada di dekat orang tua. Daan… keempat temanku sudah mulai enjoy dengan kehidupan barunya dan nggak nangisan lagi. Sekali dua kali masih nangis, tapi nangisnya nggak segiat aku. Roda kehidupan memang masih berputar kawan. Jangan lupakan itu!!

Tiba di pesantren, kami langsung ditempatkan pengurus dalam satu kamar yang sama meski lemarinya tak bisa sekamar. Jadi inget kamar Panjang (KNS-Kamar Nurus Salam), inget penghuninya juga (Mb Mufa’, mb Muhim, mb Lia Rahayu, mba Lifa, mb Ma’rifah, mb Nung, mb Nurul, mb Afin, mb Fitri, mb Luluk, Yesi, mb Zizah, Ida Tengguli, dkk). hehe. Setelah memastikan segalanya sudah beres, kami pergi sekolah dan orang tua kami pulang ke rumah, menunggu angkutan desa yang tadi mengangkut kami sampai Bangsri. Orang tua kami juga pulang menaiki kendaraan yang sama.

Sepulang sekolah, kami sudah tidak lagi mendapati orang tua kami lagi. Mereka sudah pulang ke rumah. Orang tua kami menitipkan barang-barang seperti ember, gantungan baju, sikat dan ciduk kepada mbak-mbak yang kebetulan berada di pondok. Sejak saat itu, babak baru kehidupan telah dimulai. Kami harus sekolah, belajar, mengikuti serangkaian kegiatan pesantren, mengikuti aturan main sebagai santri, disiplin, dan segala hal yang belum pernah kutemui saat masih Madrasah Ibtidaiyah.

Aku masuk di kelas satu madin. Hafalan wajib kelas satu adalah kitab Jurumiyah yang telah diterjemahkan sendiri oleh Kyai (Bapak KH. Ma’arif Asrori) kami  ke dalam Bahasa Indonesia dan disusun secari rapi oleh Ustad Sa’idun Afit (Kak Afit). Bagi kelas awal, Kitab Jurumiyah tersebut seolah-olah telah menjelma sebagai kitab suci kedua setelah Al-Qur’an karena saking seringnya dibawa kemana-mana. Teman-teman baruku sudah mulai menerima kenyataan bahwa kini mereka telah tinggal di Pesantren. Mereka setor hafalan tiap sore kepada sesama teman yang telah ditunjuk  pengurus sebagai penyimak.

Apakah aku juga telah menerima kenyataan seperti teman-teman baruku itu? Belum. Aku enggan sekali menghafal karena yang terngiang di kepalaku adalah pulang, pulang dan pulang. Saat temen2 yang lain menghafal di lantai tiga, aku justru menangis sembari memandangi jembatan yang biasa dilewati angkutan desa kami dari pagar-pagar lantai tiga. Melihat tetangga-tetangga kami yang bergelantungan di angkutan desa saat melewati jembatan aja sudah seneng rasanya. Seperti melihat kampung halaman, rumah, keluarga dan orang tua kami. Makanya setiap sore aku selalu menunggui angkutan desa sampai melewati jembatan Bangsri-Wedelan.

NB: Aku dan keempat temanku hafal dan bisa tahu kalau kendaraan yang lewat jembatan tersebut adalah angkutan desa kami. Padahal, jarak antara pondok dengan jembatan tidaklah dekat. Kendaraan yang lalu lalang di jembatan terlihat amat kecil, tapi kami tahu persis kalau angkutan desa kami yang melenggang. Kami sudah tahu warna angkutan dan siapa saja yang menjadi penumpang tetapnya. Mereka adalah tetangga-tetangga kami yang bekerja di kota Jepara sebagai tukang kayu. Mereka pergi bekerja setiap pagi dan pulang sekitar jam lima sore. Angkutan desa tersebut selalu siap mengantar-jemput tetangga-tetangga kami sampai Bangsri. Selanjutnya, mereka menghadang bis kecil-kecil menuju kota Jepara. Begitu seterusnya. Waah… kalau diruntut, Angkutan Desaku telah ikut berperan penting dalam kehidupan kami selama kami nyantri di Bangsri.

Setiap pagi kami melewati terminal Bangsri menuju gedung sekolah Mts. Hasyim Asy’ari. Momen paling mendebarkan adalah saat bertemu tetangga-tetangga kami di pasar. Kami menyapanya. Paling sering kami menitipkan surat kepada orang tua di rumah melalui tetangga yang kami temui. Terkadang, di hari libur, kami sengaja mencari tetangga kami di pasar untuk sekedar mengirim surat atau mengecek kiriman. Perlu kukatakan di sini, pada waktu tersebut, surat merupakan alat komunikasi utama yang kami gunakan untuk mengabari orang tua kami. Begitu juga sebaliknya, orang tua kami juga menitipkan surat kepada kami melalui tetangga kalau ada apa-apa di rumah. Kalau malas menulis surat, kami hanya menitipkan pesan secara lisan saja.   Beberapa hari kemudian, apa yang telah kami pesan sudah sampai di tangan kami. Entah itu uang, jajan, kabar maupun kebutuhan2 lain.

Balik lagi ke Pesantren. Guru Jurumiyah kami adalah Kang Bidin. Beliau sampai geregetan sendiri karena kami tak kunjung paham. Pada ulangan semester ganjil, nilai-nilai pelajaran Nahwu kami adalah enam ke bawah. Semakin deh….hehe. Penangkapan materi pelajaran angkatanku berbeda dengan angkatan sebelumnya. Kakak tingkatku pada pintar-pintar, dan hal tersebut selalu diungkap guru saat kami sudah kelewatan g pahamnya. ckck. Meskipun demikian, aku tetap tak menggubris hafalan Jurumiyah. Yang kupikirkan hanya bagaimana cara pulang ke rumah.

Pada puncaknya, aku berkirim surat kepada Mamak-Bapak. Isinya, aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di Pesantren. Aku pingin ngelaju aja atau tinggal di rumah Simbah angkat di daerah Bandungharjo. Yang penting, aku tidak lagi di Pesantren. rasanya nggak enak banget. Beda dengan di rumah. Hari Jum’at, Mak n Pakku menyambangi aku di Pesantren. Mamak membawa banyak jajan. Tentu saja aku senang. Mak-Pakku merayu dan mencoba bernegosiasi supaya aku tetap tinggal di Pesantren. Berbagai jurus dan rayuan telah dikeluarkan supaya aku tetap bertahan di pesantren. Jurus yang ampuh dan membuatku klepek-klepek seketika adalah janji Mak-Pakku untuk menengokku setiap Jum’at. Jadi, aku nggak perlu keluar dari Pesantren, kan nanti ditengok tiap Jum’at. Oke, setidaknya aku bisa berjumpa dengan Mamak-Bapakku seminggu sekali. Lumayanlah, bisa mengobati rasa rinduku.

Memang sulit keluar dari kebiasaan dan keadaan lama menuju kebiasaan dan keadaan baru. Aku sudah terlanjur nyaman berada di zona aman (comfort zone). Zona aman dalam hal  ini adalah rumahku, kampung halaman, teman, guru ngaji, dll. Untuk memasuki belantara baru (pesantren) bukanlah perkara mudah. Hal itulah yang kurasakan saat pertama kali mondok. Teman-teman, guru, suasana, aktivitas, lingkungan, keseharian, makanan serba baru. Kebaruan itulah yang yang seringkali mengusik hati. Terkadang hati tidak kuat menahan usikan dan gesekan-gesekan. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan adalah bertahan di wilayah baru meskipun perih, menyesakkan dada, pahit dan sulit. Bertahanlah terlebih dahulu, tidak langsung berontak.

Awalnya, aku hanya mbetah-mbetahke (mencoba bertahan) meskipun sering mewek pada akhirnya. Namun, lama-kelamaan aku justru betah beneran. Aku jadi jarang pulang meski liburan pondok. Pada saat liburan, aku lebih senang menghabiskan waktuku di pondok. Dari kejadian ini, aku jadi berpikir-pikir, seandainya dulu aku tidak mencoba bertahan tinggal di pondok dan memilih keluar, tentu aku akan menyesal. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.

 

Tinggalkan komentar