Kondisi Tubuh

Kebetulan kok presentasi berturut-turut. Empat makalah dalam dua hari. Aku bosan, apalagi teman-teman yang melihatku berbusa-busa. Pasti sungguh bosan. Dasar tidak memiliki kedisiplinan dalam mengatur waktu. Mengerjakan tugas dengan sistem kejar tayang. Kayak nggarap sinetron yang harus ditayangkan esok harinya. hahaha. Sistem kebut semalam. Mendingan kalau masih sistem kebut seminggu. Entahlah.

Aku lebih demen nulis yang ringan-ringan saja, mempelajari dan membaca buku yang enjoyable. Ini nih, nggak bisa memilah dan memilih mana prioritas dan mana sampingan. Makanya amburadul begini. Sudah puas memarahi diri sendiri? Dimarahin aja masih bebal, enggan berubah. Percuma marahin, nggak ada efek sampingnya. Harusnya sudah selesai dengan diri sendiri dong El.

Aku menandai dan memperhatikan perubahan kondisi fisikku. Sebagai perantau *cie perantauu, beneran perantau? Kalau sudah bersin lebih dari tiga kali, biasanya aku akan ingusan dan pilek. Entah ini persepsi yang mempengaruhi suatu keadaan atau memang keadaan yang sebenarnya. Selain pilek atau serak, kadang dibarengi dengan nggereges atau meriang. Badannya panas dingin, tulang-tulangnya sakit karena capek mungkin. *Emang pernah capek? Ya nggak tahu juga. Hal-hal itu merupakan gejala kalau kekebalan tubuhku mulai menurun.

Dan sebagai perantau, keadaan apa lagi yang bikin cengeng dan mellow selain sakit? Aku langsung ingat Mamak, pengen nangis. Betapa kasih sayang Mamak sangat terasa ketika kita sedang tidak enak badan. Mamak yang sering terbangun di tengah malam karena aku selalu ingin dipijit di sepanjang malam ketika sakit. Atau sebentar-sebentar membangunkan Mamak karena ingin minum atau pipis. Orang sakit kan biasanya panas dan gerah, jadi haus terus-terusan. Mamak mempersiapkan segala kebutuhanku dengan menaruh teko air putih di atas lemari baju yang terletak di depan ranjang.

Lama sekali aku tidak merasakan kedekatan yang teramat dekat dengan Mamak. Di tempat yang jauh dari rumah, kita dituntut mandiri dan tidak cengeng dalam menjalani hidup. Padahal, sekuat-kuatnya manusia, ia memiliki titik lemah. Berusaha sok kuat sih boleh saja. Tapi kalau memang sudah tidak kuat menahan beban, jangan dipaksakan untuk terlihat baik-baik saja.

Sewaktu masih di Bangsri, kepedulian temen-temen pada kita saat kita sakit sangat terasa. Mereka bisa memperlakukan kita seperti saudaranya. Segala kebutuhan kita dibantu. Baik masalah makanan, obat-obatan, pakaian, sampai dituntun dan diantar ke kamar mandi. Di Jogja, ada temen-temen yang seperti itu. Encop sengaja tidur di kamarku. Tante membenarkan selimutku.

Di akhir masaku di Jogja, aku berusaha untuk tidak rewel ketika sakit. Tidur di poskestren yang sepi, minum banyak air putih, membeli you c-1000, dan mengkrukup badan dengan selimut biar keluar keringat. Tidak ada yang tahu kalau badan sedang meriang. Dikiranya aku tidur biasa. Kalau pagi tiba, tinggal membeli bubur atau nasi biasa.

Begitu juga dengan hidupku di sini ketika nggereges. Banyak minum air putih dan makan banyak-banyak. Momen sakit adalah waktu untuk memanjakan diri. Aku membeli dan memakan semua yang kupengen. Makanan yang tidak terbeli ketika aku sehat karena mempertimbangkan isi kantong dan lain-lain. Jadi, enjoy dan nikmati aja rasa sakitnya.

Sejak dulu sudah tidur di lantai, barangkali berpengaruh pada pernafasan, paru-paru. Aku tidak betah tidur di lantai tanpa alas karpet atau kasur, pasti sesak nafas. Juga dengan angin malam, aku nggak kuat menahan dinginnya. Padahal, badanku selalu gembrobyos dan berkeringat. Tapi kalau terkena angin malam atau kipas angin, akan gampang masuk angin, batuk-batuk, dan kembung. Lucu banget dah. Di sisi lain gerah, tapi kalau kena angin, kagak bisa nahan juga.

Lha kemarin-kemarin itu, perutku kembung dan masuk angin, pencernaanku nggak lancar, diare, pilek, batuk, dan meriang. Komplit juga kayak jamu. Dan aku harus mengerjakan tugas dalam keadaan demikian. Tahu sendiri kan AC perpusnas kencengnya kayak apa? Dijamin masuk angin.

Yasudah, bisa disiasati dengan memakai kaos kaki dan jaket. Bisa juga membawa minyak kayu putih. Tidak biasanya aku memakai kaos kaki. Ribet dan nggak bebas. Jadilah aku memakai kaos kaki dan sandal jepit swallow merah ke perpusnas. Tidak matching banget dah. Aku juga perlu mengolesi bagian-bagian sensitif tubuhku dengan minyak angin.

Aku sudah mencari buku-buku yang kuperlukan di lantai dua. Kemudian aku naik ke lantai tiga, mengambil buku yang kumaksud ke petugas. Baru sebentar di sana, perutku sudah kruwes-kruwes, mules. Masuk dan keluar perpusnas harus dengan kartu. Kartuku masih dibawa petugas sebagai jaminan dari buku yang kubaca. Aku mengembalikan bukunya dan meminta kartuku.

Di lantai tiga tidak ada toilet. Semua toilet di lantai satu. Aku harus turun ke bawah dan menunggu lift yang tidak mesti datang cepat.

Em em em. Mengerjakan tugas dengan kondisi badan yang tidak karu-karuan sungguh mengharukan. Apalagi di tempat yang tidak simpel begitu. Ada pikiran untuk balik asrama dan tidur aja. Tapi kan aku sudah tidur dengan cukup pada malam harinya. Harus memaksakan diri untuk membaca bahan-bahan. Oiya, buku yang kumaksud sudah dipak-pak i dan tidak bisa dipinjam kecuali kalau ada surat pengantar dari kampus. Semakin waow aja ya. Pengen merayu-rayu petugas dengan muka polos.

Eng ing eng, aku tidak bisa mendapatkan rujukan utama. Hanya buku-buku sekunder saja. Perpusnas mau dipindah ke depan Monas, entah kapan terealisasinya. Dari pada tidak. Kalau tidak bisa mendapatkan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya. Begitu.

Asrama Mahasiswa, Matraman Dalam II, Jakarta Pusat

23 April 2017 (0:32)

 

 

2 Comments Add yours

  1. ndaannis berkata:

    Udah capek masih sempet nulis. Bagus tuh. Kalo aku nulis kalo mood aja hehe

    Disukai oleh 1 orang

    1. nggedabrusrek berkata:

      nulisnya pas udah nggak capek kak. Sama, aku juga tergantung mood. Tapi berusaha satu hari satu narasi. Salam kenal kak. Terima kasih sudah mampir

      Suka

Tinggalkan komentar