Di Suatu Pagi

“Mbak El sibuk?”

“Habis ini mau ke Matraman Dek”

Ia bertanya saat aku sedang bersiap menuju Matraman untuk mengikuti orientasi program studi. Aku baru selesai mandi dan sedang memainkan hape, duduk jongkok. Aku beranjak ke kamar, mengambil tas dan memasukkan beberapa keperluanku selama di Matraman. Sikat dan pasta gigi, baju, kartu busway, laptop, buku, minuman, dan sandal.

Ia mengikutiku ke kamar dan mengulangi pertanyaannya. Ia mendekat dengan raut wajah penuh keraguan.

“Mbak El sibuk banget?”

“Kalau sudah beres mau langsung pergi Dek”

“Ada apa?”

“Nggak usah deh. Nanti aja ceritanya” sambungnya sambil menekuk mukanya berlipat-lipat. Melihat gelagat yang tidak mengenakkan, aku memancingnya untuk berbicara. Lalu mengalirlah cerita kalau ia telah ditipu seseorang melalui telpon seluler genggamnya. Ia merasa bersalah pada ibunya karena berpikir telah menghilangkan uang ibunya. Meski uang tersebut merupakan uang saku yang diberikan padanya. Ia tidak berani bercerita pada ibunya. Ia menyebutkan uang sejumlah ratusan ribu.

Perasaanku menjadi campur aduk dengan sendirinya. Ia memilihku sebagai tempat bercerita. Ia adalah salah satu bocah di Bintaro. Tiba-tiba ada semacam serangkaian pemikiran dan perasaan bahwa aku adalah orang tuanya di perantauan. Pintar sekali aku memberikan penghiburan padanya. Beberapa menit kemudian, aku mendapati senyumnya yang kembali merekah.

Saat ia datang untuk pertama kalinya di Bintaro, ia adalah orang yang paling pendiam. Ia datang sekitar sore hari. Ia ditempatkan di kamar atas. Pagi harinya ia turun ke lantai bawah sembari membawa mie sedap goreng. Berniat untuk memasaknya. Kami mencegahnya dan mengatakan supaya kita makan bareng-bareng. Tidak perlu memasak mie instan. Di masa-masa adaptasi, ia sering menyendiri. Tidak berbaur dengan teman-temannya. Aku sampai berpikir macam-macam tentangnya. Mengira bahwa ia adalah orang sepertiku yang sulit bergaul pada awalnya.

Pelan-pelan aku mengajaknya ini-itu. Lama-kelamaan, ia adalah anak yang mengagumkan dengan kepolosannya. Ia cekatan seolah pikirannya bisa bereaksi secara spontan. Ia mengetahui banyak hal. Hanya saja, ia masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dan lebih gemar memakai bahasa lokalnya dalam berkomunikasi dengan kita-kita. Sayangnya, kami tidak terlalu bisa memahami bahasanya karena pelafalannya yang terlalu cepat. Pun ada beberapa kata yang sangat lokal banget dan tidak ada dari kami yang paham.

Ia tipe anak periang dan mudah berbahagia. Sebelum berbincang padaku, ia masih sempat mengingatkan beberapa teman yang piket hari ini. Sebelum mengenalnya dengan baik, jarang yang akrab dengannya. Lihatlah sekarang! ia adalah orang yang paling dicari jika tidak terlihat batang hidungnya. Ia adalah teman yang menyenangkan. Dan sangat-sangat polos. Hahaha

“Jangan bilang dulu ke Ibuk dek. Nanti kalau hatimu sudah lega, kamu baru matur ke Ibuk. Bilang dan mohon maaf atas kejadian menghilangkan uang Ibuk. Kamu cerita pas hatimu sudah ceria kembali supaya ibukmu nggak pikiran. Kamu ceritanya dengan guyon-guyon gitu. “Maaf ya Buk, mungkin aku terlalu polos jadi orang”. Pokok e seng penting atimu lego dek. Tidak apa-apa mengalami kejadian seperti ini. Wajar. Mungkin hal ini seng marai atine sampeyan gak penak. Tapi jarke wae. Tetep fokus sinau kuliah karo ngajine. Rapopo mengalami kejadian apapun. Neng urip ngko ono peristiwa seng luwih abot meneh. Nek wes terbiasa mengahadapi masalah, kita bakalan biasa wae. Rapopo dengan keadaan apapun. Meski gak nduwe duit sekalipun. Nanti awakmu menjadi pribadi yang lebih kuat dek,” kurang lebih demikian sesumbarku.

“Iya mbak,” senyumnya mengembang dan betapa bahagiaku melihat senyum ketulusan itu.

Lanjutnya, “tapi Mbak, aku kan polos. Bagaimana nanti di kampus?”

Ia mengkhawatirkan pandangan umum mengenai dirinya yang polos. Atau setidaknya ia memahami dan mengenali dirinya yang polos.

Aku juga melanjutkan sesorahku, “wajar kalau kita masih polos. Kita berasal dari sebuah kampung dan di sini kita berjumpa dan bergumul dengan manusia dari berbagai kalangan. Kota besar lagi. Sungguh tidak ada yang salah jika diri kita adalah orang polos. Kita bisa mempelajari perilaku orang-orang yang kita temui.”

“Iya mbak, sudah plong. Aku berangkat dulu ya.”

Ia menyalamiku dan aku memeluknya sebentar.

Asrama Putri NU, Matraman Dalam II, Jakarta Pusat

07 September 2017

Tinggalkan komentar